Jumat, 23 November 2012

Hujan Mengembalikan Jiwaku pada Tubuhku Pagi Ini



Kembali ke alam, berbaring akan tanah basah, memeluk embun pagi, menelaah insan dunia yang sedang menghilang tanpa jejak.  Tak bertujuan.  Dan nampak padaku sesosok malaikat tanpa sayap yang sedang mengitari hutan belantara.  Jejak kaki yang tegas tertoreh dalam tanah becek.  Perlahan, satu-persatu, titik-titik indah dari langit mulai turun dan semakin membasahi tanah disekelilingku.  Aku limbung, jatuh tak berdaya. Tak kuasa aku menahan tetesan hujan yang menari-nari diatas kepalaku, tak mampu lagi aku menjejakkan kaki di tanah basah yang semakin lama semakin lunak dan menjadi lumpur, tubuhku terasa ringan dan tiba-tiba semua itu menjadi gelap.

Aku tak sadarkan diri.  Yang kudengar hanyalah nyanyian-nyanyian indah.  Apakah ini surga?  Yakinkan aku, bangunkan aku dari ketidaksadaranku.  Aku hanya ingin memastikan apakah aku masih hidup atau mati.  Cepat, bangunkan aku, sadarkan aku.  Bawa aku ke tempat yang bisa meyakinkan aku akan keadaanku sekarang.

Terbersit cahaya yang menyilaukan dan perlahan membangunkanku dari ketidaksadaranku.  Aku dimana?  Yang kulihat hanyalah cahaya dan cahaya dimana-mana.  Aku mencoba untuk duduk dan menyamankan posisiku.  Masih terasa pusing.  Tiba-tiba datanglah sesosok malaikat tanpa sayap yang kulihat di hutan sebelum aku jatuh.  Ya, ia menghampiriku.  Ia mengulurkan tangannya dan mengajakku pergi.  Perlahan aku berdiri dan saat kumelihat ke bawah, tubuhku masih tergeletak tak berdaya.  Sukmaku telah pergi.

Sebuah dilemma bagiku saat itu.   Haruskah aku memilih untuk ikut bersama malaikat itu ataukah aku memilih untuk kembali ke kehidupanku dan memperbaiki semua kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan selama hidupku.  Jika aku tetap hidup, aku akan merasakan sakit dan pahit.  Jika aku mati, aku mendapatkan kebahagiaan yang abadi.  Aku bingung, aku bimbang.  Mana yang harus kupilih?  Aku bertanya pada malaikat itu, apakah aku bisa kembali pada tubuhku?  Dan ia hanya memberikan jawaban bahwa tidak semua orang yang jiwanya telah pergi meninggalkan tubuh bisa kembali lagi, semua tergantung pada catatan kehidupan yang telah ditorehkan.  Aku terduduk lemas, kaku melihat dan meratap didepan tubuhku.

Malaikat itu berusaha menarikku dari tempat itu dan membawaku pergi.  Entah kemana dia akan membawaku.  Pasrah dan menerima kenyataan yang aku lakukan.  Aku sudah mati.  Ini surga, tempat dimana aku bisa mendapatkan kebahagiaan abadi, tanpa jeritan, tangisan, kepedihan yang mendalam, dan perang.  Aku mulai menikmati perjalanan bersama malaikat tak bersayap yang terus menggenggam tanganku, menuntunku meniti jalan kehidupan abadi.

Cahaya yang terlalu menyilaukan pada awalnya seiring waktu berjalan aku merasakan keindahan dalam tempat itu.  Semua tersenyum senang saatku melangkahkan kaki memasuki sebuah ruangan yang amat sangat besar dan megah.  Kulihat diujung ruangan ada yang tengah menungguku.  Kurasa aku mengenalnya.  Semakin aku mendekati ujung ruangan, terdengar beberapa sosok yang menungguku itu memanggil namaku.  Aku semakin heran, dari mana mereka tahu namaku?  Kakiku terus, terus, dan terus melangkah menuju mereka.  Saat aku tiba di hadapan mereka, aku hanya bisa menangis, haru.

Aku melihat kakek dan nenekku mengulurkan tangannya, seraya ingin memelukku.  Disekitar mereka tampak juga orang-orang yang aku sayangi, yang telah meninggalkan dunia fana terlebih dahulu.  Aku berlari kedalam pelukan kakek dan nenekku.  Ya Tuhan, aku amat sangat merindukan mereka.  Air mata kembali mengalir.  Deras, bahkan sangat deras.  Kami bercengkerama di alam sana.  Rasanya aku tak ingin pergi meninggalkan tempat ini.  Kuyakin ini adalah surga.

Sekian lama aku berbaur dengan mereka semua, tiba-tiba aku tersedot dalam sebuah kotak yang tampak jahat.  Membawaku akan tempat penuh darah dan mayat-mayat yang bergelimpangan.  Ya Tuhan, ini ‘kan tempat dimana perang dunia saat itu berlangsung!  Betapa mengerikan!  Aku berpikir, mengapa aku dibawa ke tempat seperti ini?  Kuberjalan menyusuri mayat-mayat yang tercecer.  Melihat sebuah kalender saku yang terjatuh tepat disebelah sesosok mayat berseragam.  Kuambil kalender itu.  Aku terkejut saat melihat angka tahun pada kalender itu.  Angka yang tidak berawal dengan angka 1!  Empat digit yang mengejutkan!  Apakah ini pertanda akan munculnya perang dunia ketiga?

Tiba-tiba, aku kembali terhisap kedalam sebuah tempat yang aku kenal.  Kulihat aku kembali ke lokasi dimana sukmaku keluar dari tubuhku.  Aku menatap miris tubuhku yang tergeletak tak berdaya.  Aku berusaha berbaring disebelah tubuhku yang tak bernyawa itu, menangis.  Lama-kelamaan, hanya gelaplah yang kurasakan setelah ada pukulan kecil yang mengenai kepalaku.

Kudengar tetesan air hujan yang masih membasahi bumi.  Tersadar aku sudah kembali pada tubuhku.  Aku masih di hutan belantara, tempat dimana aku terjatuh.  Aku berdiri dan merasakan kenikmatan.  Aku hidup kembali!  Sukmaku telah kembali kepada tubuh ini!  Aku berlari keluar dari hutan belantara dan kembali pada kehidupan nyata.  Menjalani kehidupan nyata dan berusaha membawa misi perdamaian.  Tak ingin aku mendapati duniaku menangis, tak ingin perang dunia ketiga itu terjadi.  Nyata dan damai.  Aku berlari dengan air mata masih mengalir.  Haru akan kembalinya jiwaku dan sedih akan terpisah kembali dengan orang-orang yang aku sayangi di surga sana.

Aku berterima kasih akan hujan yang membasahi Yogyakarta pagi ini.  Dia telah mengembalikan aku ke kehidupan nyata.  Jiwaku kembali pada tubuhku yang lemah tak berdaya di atas pembaringanku.  Merasa berharga dan bersyukur.  Aku masih hidup!  Terima kasih Tuhan atas kesempatan yang telah Kau berikan.  Terima kasih atas semua yang sudah aku alami.  Perlahan hujan mulai reda.  Matahari menampakkan diri dengan gagahnya.  Memamerkan keindahan dan kehangatan sinarnya.  Aku bangkit dan mulai bersiap untuk menapaki hari ini.  Menjejakkan kaki dikampus ISI Yogyakarta tercinta.



Sewon, 21 November 2012
Pagi hari
Sebuah kontrakan sederhana yang menaungiku saat hujan turun
Tertanda, diriku sendiri