Kembali ke
alam, berbaring akan tanah basah, memeluk embun pagi, menelaah insan dunia yang
sedang menghilang tanpa jejak. Tak
bertujuan. Dan nampak padaku sesosok
malaikat tanpa sayap yang sedang mengitari hutan belantara. Jejak kaki yang tegas tertoreh dalam tanah
becek. Perlahan, satu-persatu,
titik-titik indah dari langit mulai turun dan semakin membasahi tanah disekelilingku. Aku limbung, jatuh tak berdaya. Tak kuasa aku
menahan tetesan hujan yang menari-nari diatas kepalaku, tak mampu lagi aku
menjejakkan kaki di tanah basah yang semakin lama semakin lunak dan menjadi
lumpur, tubuhku terasa ringan dan tiba-tiba semua itu menjadi gelap.
Aku tak
sadarkan diri. Yang kudengar hanyalah
nyanyian-nyanyian indah. Apakah ini
surga? Yakinkan aku, bangunkan aku dari
ketidaksadaranku. Aku hanya ingin
memastikan apakah aku masih hidup atau mati.
Cepat, bangunkan aku, sadarkan aku.
Bawa aku ke tempat yang bisa meyakinkan aku akan keadaanku sekarang.
Terbersit
cahaya yang menyilaukan dan perlahan membangunkanku dari ketidaksadaranku. Aku dimana?
Yang kulihat hanyalah cahaya dan cahaya dimana-mana. Aku mencoba untuk duduk dan menyamankan
posisiku. Masih terasa pusing. Tiba-tiba datanglah sesosok malaikat tanpa
sayap yang kulihat di hutan sebelum aku jatuh.
Ya, ia menghampiriku. Ia
mengulurkan tangannya dan mengajakku pergi.
Perlahan aku berdiri dan saat kumelihat ke bawah, tubuhku masih
tergeletak tak berdaya. Sukmaku telah
pergi.
Sebuah
dilemma bagiku saat itu. Haruskah aku
memilih untuk ikut bersama malaikat itu ataukah aku memilih untuk kembali ke
kehidupanku dan memperbaiki semua kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan
selama hidupku. Jika aku tetap hidup,
aku akan merasakan sakit dan pahit. Jika
aku mati, aku mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Aku bingung, aku bimbang. Mana yang harus kupilih? Aku bertanya pada malaikat itu, apakah aku
bisa kembali pada tubuhku? Dan ia hanya
memberikan jawaban bahwa tidak semua orang yang jiwanya telah pergi
meninggalkan tubuh bisa kembali lagi, semua tergantung pada catatan kehidupan
yang telah ditorehkan. Aku terduduk
lemas, kaku melihat dan meratap didepan tubuhku.
Malaikat itu
berusaha menarikku dari tempat itu dan membawaku pergi. Entah kemana dia akan membawaku. Pasrah dan menerima kenyataan yang aku
lakukan. Aku sudah mati. Ini surga, tempat dimana aku bisa mendapatkan
kebahagiaan abadi, tanpa jeritan, tangisan, kepedihan yang mendalam, dan
perang. Aku mulai menikmati perjalanan
bersama malaikat tak bersayap yang terus menggenggam tanganku, menuntunku
meniti jalan kehidupan abadi.
Cahaya yang
terlalu menyilaukan pada awalnya seiring waktu berjalan aku merasakan keindahan
dalam tempat itu. Semua tersenyum senang
saatku melangkahkan kaki memasuki sebuah ruangan yang amat sangat besar dan
megah. Kulihat diujung ruangan ada yang
tengah menungguku. Kurasa aku
mengenalnya. Semakin aku mendekati ujung
ruangan, terdengar beberapa sosok yang menungguku itu memanggil namaku. Aku semakin heran, dari mana mereka tahu
namaku? Kakiku terus, terus, dan terus
melangkah menuju mereka. Saat aku tiba
di hadapan mereka, aku hanya bisa menangis, haru.
Aku melihat
kakek dan nenekku mengulurkan tangannya, seraya ingin memelukku. Disekitar mereka tampak juga orang-orang yang
aku sayangi, yang telah meninggalkan dunia fana terlebih dahulu. Aku berlari kedalam pelukan kakek dan
nenekku. Ya Tuhan, aku amat sangat
merindukan mereka. Air mata kembali
mengalir. Deras, bahkan sangat
deras. Kami bercengkerama di alam
sana. Rasanya aku tak ingin pergi
meninggalkan tempat ini. Kuyakin ini
adalah surga.
Sekian lama
aku berbaur dengan mereka semua, tiba-tiba aku tersedot dalam sebuah kotak yang
tampak jahat. Membawaku akan tempat
penuh darah dan mayat-mayat yang bergelimpangan. Ya Tuhan, ini ‘kan tempat dimana perang dunia
saat itu berlangsung! Betapa
mengerikan! Aku berpikir, mengapa aku
dibawa ke tempat seperti ini? Kuberjalan
menyusuri mayat-mayat yang tercecer.
Melihat sebuah kalender saku yang terjatuh tepat disebelah sesosok mayat
berseragam. Kuambil kalender itu. Aku terkejut saat melihat angka tahun pada
kalender itu. Angka yang tidak berawal
dengan angka 1! Empat digit yang
mengejutkan! Apakah ini pertanda akan
munculnya perang dunia ketiga?
Tiba-tiba,
aku kembali terhisap kedalam sebuah tempat yang aku kenal. Kulihat aku kembali ke lokasi dimana sukmaku
keluar dari tubuhku. Aku menatap miris
tubuhku yang tergeletak tak berdaya. Aku
berusaha berbaring disebelah tubuhku yang tak bernyawa itu, menangis. Lama-kelamaan, hanya gelaplah yang kurasakan
setelah ada pukulan kecil yang mengenai kepalaku.
Kudengar
tetesan air hujan yang masih membasahi bumi.
Tersadar aku sudah kembali pada tubuhku.
Aku masih di hutan belantara, tempat dimana aku terjatuh. Aku berdiri dan merasakan kenikmatan. Aku hidup kembali! Sukmaku telah kembali kepada tubuh ini! Aku berlari keluar dari hutan belantara dan
kembali pada kehidupan nyata. Menjalani
kehidupan nyata dan berusaha membawa misi perdamaian. Tak ingin aku mendapati duniaku menangis, tak
ingin perang dunia ketiga itu terjadi.
Nyata dan damai. Aku berlari
dengan air mata masih mengalir. Haru
akan kembalinya jiwaku dan sedih akan terpisah kembali dengan orang-orang yang
aku sayangi di surga sana.
Aku berterima
kasih akan hujan yang membasahi Yogyakarta pagi ini. Dia telah mengembalikan aku ke kehidupan
nyata. Jiwaku kembali pada tubuhku yang
lemah tak berdaya di atas pembaringanku.
Merasa berharga dan bersyukur.
Aku masih hidup! Terima kasih
Tuhan atas kesempatan yang telah Kau berikan.
Terima kasih atas semua yang sudah aku alami. Perlahan hujan mulai reda. Matahari menampakkan diri dengan
gagahnya. Memamerkan keindahan dan
kehangatan sinarnya. Aku bangkit dan
mulai bersiap untuk menapaki hari ini.
Menjejakkan kaki dikampus ISI Yogyakarta tercinta.
Sewon, 21
November 2012
Pagi hari
Sebuah
kontrakan sederhana yang menaungiku saat hujan turun
Tertanda,
diriku sendiri